Persekutuan Kaum Pria (PKP) yang baru dibentuk dalam
pelayanan Gereja KIBAID melalui SSA XV pada bulan Juli 2012 yang lalu, menimbulkan beragam pendapat
yang kontradiktif. Ada yang mengatakan, untuk apalagi dibentuk PKP (Persekutuan
Kaum Pria) sudah terlalu banyak persekutuan dalam gereja kita. Ada juga yang
mengatakan PKP dibentuk karena kita meniru Gereja lain, bahkan ada yang
mengatakan PKP tidak adakan mungkin jalan karena pengalaman masa lalu pernah di
bentuk tetapi macet/tidak jalan. Juga ada yang mengatakan kaum pria sangat
sibuk dengan pekerjaan sehingga tidak mungkin akan mengadakan persekutuan.
Masalah
karir, keluarga, dan pelayanan banyak yang harus "ditangani
sekaligus" oleh kaum pria/bapak. Namun, sering dijumpai ketidaksiapan/
ketidakseimbangan, bahkan "ketiadaan" (Absence) peran yang jelas dari
seorang pria. Sebagai contoh, dalam banyak keluarga hanya ibu yang berperan.
Ibu yang banyak berinisiatif minta pendapat/nasehat/ konseling kepada para
konselor/ hamba Tuhan. Apalagi kalau menyangkut masalah anak (pergaulan,
sekolah, dan pacaran), seringkali ibu lebih concern ketimbang ayah. Tak jarang
kaum ibu merasa tertekan. Ketika ibu-ibu ditanya "Mana bapaknya, Bu ?" Seringkali
sang ibu menjawab, "Wah, susah Pak. Bapaknya anak-anak selalu sibuk, tak
ada waktu. Dia sama sekali tidak memperhatikan keluarga. Padahal yang punya
anak ‘kan dia juga. Tapi, semua urusan mesti istri yang mengerjakan." Keluhan
seperti ini bukan hanya sekali dua kali kita hadapi, tetapi sangat sering!!!
Karena itu,ketika dalam SSA XV Gereja KIBAID Di Hotel Misliana pada bulan Juli 2012 yang lalu penulis sangat bersyukur bahwa
doa dan kerinduan penulis bertahun-tahun tentang masalah Pelayanan Kaum Pria
yang” seakan-akan terabaikan” pada masah lalu dalam pelayanan gereja KIBAID
ternyata sudah terjawab dengan dibentuknya Persekutuan Kaum Pria.
Penulis
tergelitik dengan satu ungkapan dari salah satu peserta sidang sinode Am XV Gereja
KIBAID yang mengatakan, “Ibu-ibu pernah
menyampaikan bahwa apa gunanya Kaum Wanita selalu dibina tetapi kaum pria
“membinasakan karena tidak pernah mendapat pembinaan khusus.” Artinya PKW
gereja KIBAID secara khusus punya kerinduan supaya Kaum Pria juga mendapat
pembinaan. Menurut penulis kaum pria tidak lebih rohani dari kaum wanita,
sehingga pelayananan kepada kedua persekutuan ini harus balance. Penulis menghimbau
kaum bapak untuk membaca, merenungkan, sekaligus meresponi peran kita sebagai
kaum pria. Memang benar jusrtu kaum prialah yang harus mendapat pembinaan yang
lebih banyak karena bagaimanapun kaum pria sebagai kepala sangat berpengaruh
kepada yang dibawahnya (isteri, anak-anak). Jika kepala ikan sudah busuk jangan
harap badan sampai ekor akan baik. Baik tidaknya seekor ikan dilihat dari
kepalanya. Suatu analogi yang sangat pass bagi kaum pria sebagai kepala dan
imam dalam rumah tangga.
Man Of Integrity (Pria
Berintegritas)
Kata
Ibrani untuk integritas mencakup pengertian whole, sound, unimpaired,
memiliki hati yang tulus. Orang yang berintegritas memiliki etika dan moral
yang baik, tak ada kemunafikan, dan bertekad memegang janji (dari sini muncul
istilah promise keeper = pemegang janji, suatu gerakan pria di Amerika
yang memiliki komitmen untuk kembali pada janji mereka). Pria yang
berintegritas adalah pria yang antara ucapan dan tindakannya sama benar, tak
ada yang disembunyikan, tidak mendua.
Sedikit
sekali dalam masyarakat kita jumpai orang yang memiliki karakter semacam itu.
Krisis integritas telah menyentuh berbagai lapisan, khususnya para kaum pria.
Dalam komunitas Kristen, integritas sangat diperlukan dalam pelayanan. Menurut Steve
Sonderman yang sangat concern/perhatian terhadap pelayanan kaum
pria, integritas pelayanan akan muncul/nampak dalam tiga hal:
(1) Integritas nampak dalam
pengakuan. Pria berintegritas tahu apa yang
mereka yakini dan lakukan. Ia tahu apa yang benar. Ia tak mudah tergoyahkan. Ia
tahu apa yang harus dilakukan, meski harus membayar harga yang mahal.
(2) Integritas nampak dalam
keselarasan (their walk matches their talk).
Apa yang dikomunikasikan kepada istri dan anak selaras dengan apa yang
dilakukan. Istri dan anak tak akan begitu saja percaya kepada suami/ayah yang
hanya kelihatan "saleh" di gereja namun "salah" dalam
keluarga, kantor, dan komunita lainnya. Para pria perlu mengembangkan konsistensi
antara apa yang mereka lakukan pada hari Minggu dan apa yang mereka lakukan
pada hari lain. Acapkali seorang bapak/ayah begitu baik/lembut di lingkungan
gereja tetapi sangat kasar dan kurang perhatian bila ada di lingkungan
keluarga.
(3) Integritas nampak dari karakter.
Para pria perlu menunjukkan
"kejujuran" dalam bertindak. Dengan kesadaran bahwa "dia tak mau
melakukan hal yang salah bukan karena takut dilihat oleh orang-orang di
sekitarnya. Seorang pria melakukan hal yang benar karena itulah karakternya
yang hakiki. Sekalipun ia pernah berbuat salah, ia tak akan malu mengakuinya,
dan ia akan memohon pemulihan dari Tuhan."
Man of intimacy (pria
"berdekatan")
Sulit
menemukan terjemahan yang tepat tanpa menghilangkan arti dan keindahan kata intimacy.
Intimacy (keintiman) berasal dari bahasa Latin intus yang artinya
within (di dalam). Dengan demikian, keintiman berarti membagi kehidupan
dengan yang lain, membiarkan orang lain masuk ke dalam hati kita
yang"terdalam" dan kita menjelajah ke dalam hati mereka sedemikian
sehingga keduanya menjadi satu.
Para pria perlu mengembangkan
kedekatan (intimacy) di dalam tiga area kehidupan:
(1) Ia memerlukan kedekatan dengan
Allah. Para pria perlu menyadari bahwa
Allah menjadikan manusia untuk mengenal Dia – bahkan lebih dalam dari itu.
Manusia perlu to enjoy Him, to experience Him (pengalaman hidup bersama
dengan Dia). Manusia diciptakan oleh Allah untuk Allah. Ia dapat menikmati
kehadiran Allah setiap waktu dalam hidupnya.
(2) Ia memerlukan kedekatan dengan
istri. Para pria perlu menyadari untuk
melihat pernikahan bukan sekedar sebagai "the marriage thing," misalnya
dengan cara membelikan barang-barang untuk istri tapi meninggalkan istri
"di belakang." Pernikahan bukanlah hanya menyangkut benda-benda yang
diberikan. Perhatian, kasih, kedekatan, dan keterlibatan emosi adalah
hal yang amat dibutuhkan seorang istri. Seorang ahli mengklasifikasikan
kedekatan dalam beberapa hal tersebut :
Emosi : tertawa dan menangis bersama
Sosial : pergi, berjalan, menemui
teman-teman bersama
Fisik : berpegangan tangan,
bersentuhan
Rohani : berdoa bersama, beribadah
bersama
Kedekatan/keintiman antara suami dan
istri melibatkan semua hal : membagi impian, harapan, ketakutan, dan kegagalan;
beranjak lambat laun dari "the marriage thing" sampai menjadi "total
person." Jika seorang suami tidak memiliki intimacy atau keintiman dengan
isterinya, baik secara emosiaonal,
rohani, atau jasmani, maka dapat dipastikan akan terjadi kematian didalam
hubungan tersebut. Suami maupun isteri, masing-masing akan berhenti berfungsi
seperti yang telah Allah rancangkan.
(3) Ia memerlukan kedekatan dengan
orang lain. Para pria memerlukan persekutuan
dengan sesama pria dalam bentuk "male-friendship/fellowship." Dalam
Alkitab terdapat banyak tokoh yang memiliki sahabat pria: Musa- Harun; Yosua –
Kaleb; Daud – Yonathan; Paulus – Barnabas, Timotius, Lukas; Tuhan Yesus –
Petrus, Yakobus, Yohanes, para murid. Amsal 27:17 menyatakan, "besi
menajamkan besi, para pria (terjemahan harfiah dari teks Ibrani, LAI
menterjemahkan dengan kata ‘orang’) menajamkan sesamanya." Kebanyakan pria
tidak memiliki teman dekat – khususnya secara rohani. Kita harus menciptakan
situasi yang memungkinkan para pria merobohkan tembok-tembok pemisah dan saling
mengenal satu dengan yang lain. Kekristenan bukan "a solo sport" (olah
raga tunggal). Para pria hendaklah bertumbuh bersama di dalam persekutuan –
saling mendukung dan menguatkan.
Man Of Identity (Pria Beridentitas)
Alkitab
menyuguhkan model yang positif dan prinsip maskulinitas/kejantanan sejati yang
menyeluruh dari seorang pria. Para pria digambarkan memiliki identitas yang
jelas. Mereka dicipta oleh Allah, segambar dengan rupa Allah. Mereka dicipta
secara unik, baik secara kepribadian, temperamen, maupun fisik. Di mata Allah,
kita berharga dan dikasihi. Allah mengasihi kita sampai Tuhan Yesus rela mati
untuk kita.
Maskulinitas
sejati kita dapatkan dari Tuhan Yesus. Ia dapat menangis dan penuh belas
kasihan; tetapi Ia dapat tegas dan keras seperti paku. Ia berani menegur orang
Farisi dan ahli Taurat, tetapi di lain saat begitu lembut berbicara dan memberi
pertolongan. Para pria perlu menyatakan identitasnya dengan jelas di
tengah-tengah dunia ini.
Tidak
ada sukacita ataupun kepuasan yang lebih besar dari yang dirasakan oleh seorang
pria yang telah mengenal hakekat menjadi pria yang serupa dengan Kristus yang
menjadi pria sejati. Sejati tidaknya seorang pria ditentukan oleh hatinya atau
manusia batiniahnya,karakter moralnya, dan bagaimana ia menampilkan sifat dan
karakter Kristus dalam seluruh aspek kehidupannya.
Man Of Influence (Pria Berpengaruh)
Para
pria perlu menyadari perubahan dunia dan masyarakat saat ini. Kita hidup dengan
dua tujuan. Kita hidup untuk kekekalan bersama Kristus, tapi semasa hidup ini
kita menginvestasi banyak hal dalam memberi pengaruh pada orang lain – bahkan
keluarga kita sendiri.
Mazmur
78 menggambarkan bagaimana ayah mengajar anak, dan pada gilirannya anak
mengajar generasi berikutnya. Generasi berikut dipengaruhi oleh tindakan kita
hari ini. Kita dapat mempengaruhi anak yang lahir pada abad ke-21 sejak saat
ini. Betapa besar pengaruh ayah dalam kehidupan anak-anak. Dietrich Bonhoeffer
pernah berkata : "A righteous man is one who lives for next
generation." Orang benar adalah orang yang hidup untuk generasi berikutnya. Itulah pengaruh.
Penutup.
Seandainya
kaum pria (kaum bapak) dapat memiliki empat karakter demikian, tentunya peran
dan kehadiran para pria di tengah keluarga, lingkungan pekerjaan, dan
masyarakat sosial khususnya dalam pelayanan akan sangat terasa. Kalau kita
jujur menilai sesungguhnya semua kegiatan yang “berbauh” rohani selalu
didominasi oleh kaum wanita. Marilah para pria, kita bergandeng tangan,
bersekutu, dan membentuk suatu "fellowship" tempat anda tidak
merasa berjuang sendiri menghadapi tantangan hidup ini. Ingatlah bahwa kehadiran
anda di tengah rekan lain sangat berarti.
Kini
saatnya para kaum pria gereja KIBAID mendapatkan pembinaan khusus, untuk saling
membangun, menguatkan melalui persekutuan sehingga kaum pria Gereja KIBAID
dapat menjalankan peran dan fungsi sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah. Jika
kaum pria dipulihkan pasti akan dapat menjadi pengayom yang berhati “Bapa” bagi
seluruh anggota keluarga. Pria yang
tampil sebagai bapa yang baik akan mampu memberikan proteksi sehingga keluarga
menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi seluruh anggota keluarga. Setan
berusaha menghalangi supaya kaum pria tidak mengalami pemulihan, sebab Setan
tahu jika laki-laki dipulihkan menjadi pria yang takut akan Tuhan (Mazmur 128),
maka keluarga akan jadi bahagia.
Keluarga yang bahagia sebagai gereja kecil sangat mempengaruhi keutuhan
dalam persekutuan secara berjemaat. Pelayanan kepada Persekutuan Kaum Pria
begitu Urgen. Selamat bersekutu Kaum pria Gereja KIBAID. Maju terus pantang
mundur. Ayo kapan lagi kalau bukan sekarang, siapalagi kalau bukan kita………………
Sumber.
Edwin
Louis Cole. Menjadi Pria Sejati.
Jakarta: Metanoia, 2009.
Steven
J.Lawson. Seri Kebapaan. Warisan Abadi.
Jakarta: Metanoia, 2007.
By:
Pdt. Eben Heiser (lihat profile penulis)Bacaan menarik lainnya:
Peranan Kaum Pria dalam Pertumbuhan Jemaat
Menikmati Kehadiran Anak Selagi Bisa
0 komentar:
Posting Komentar